Shinigami || Pagi itu kompleks perumahanku geger, empat remaja tanggung
ditemukan meninggal over dosis, persis dirumah kosong yang ada
disebelahku. Mereka pesta miras dan juga narkoba. Setelah Polisi datang,
dan diadakan olah TKP mayat empat remaja itupun langsung dibawa ke RS.
Bhayangkara untuk otopsi. Sebagai ketua RT diwilayah itu, kematian empat
remaja tanggung tadi tentu menjadi
beban berat tersendiri bagiku. Pertama, aku harus menemani bapak-bapak
Polisi itu melakukan olah TKP, yang kedua harus mencari jati diri siapa
sebetulnya empat remaja naas tadi (dan kemudian diketahui sebagai
anak-anak jalanan binaan salah satu rumah singgah di kotaku) dan yang
ketiga, ini yang paling berat membersihkan bekas-bekas kematian yang ada
di rumah itu. Termasuk, bergotong royong dengan bapak-bapak satu
komplek untuk membuka dan mencopoti genteng diatas, agar hawa mistisnya
hilang. Setelah itu, standby menunggu komplain warga kalau-kalau terjadi
hal-hal yang bersifat mistis seperti penampakan dan lain-lainnya.
Betul saja, sehari setelah kejadian bu Sarbini sudah mengadu bahwa pada
malam setelah kejadian di rumah kosong yang masih ada garis Polisinya
itu sudah terdengar suara-suara ketawa dan juga ribut-ribut seperti
sedang ada pesta miras disitu, yang kemudian disusul dengan jeritan
kesakitan. Belum sempat laporannya kutindaklanjuti, sudah datang bu
Yuliono yang bercerita dengan versi yang hampir sama, cuma yang ini
ditambahi dengan ketukan dipintu untuk minta tolong dan setelah
dibukakan yang ada cuma kesunyian dan bau alcohol yang menusuk hidung.
Kejadian yang sama juga dialami dengan pak Ferry, yang malam itu entah
kebetulan atau bagaimana ban sepeda motornya gembos. Karena pak sastro
yang buka tambal ban diujung komplek sudah tutup, maka pak ferry
terpaksa menuntun sepeda itu sampai ke rumah. Eh…tepat 100 meter sebelum
rumah kosong itu beliau baru sadar kalau harus melewati rumah kosong
yang jadi angker dalam beberapa hari ini. Tentu saja hatinya jadi
kebat-kebit. Apalagi suasana komplekku pasca kejadian itu jadi sepi dan
warga lebih suka ngendon dirumah (termasuk aku). Dan…betul ketika
langkahnya sampai didepan rumah itu, terdengar suara ketawa cekakaan
sahut-sahutan yang kemudian dilanjut suara botol dipecah, dan juga suara
orang bersendawa keras sekali yang diakhiri dengan suara tangis yang
menyayat hati. Setelah itu, pintu pager halamanku yang jadi sasaran
“…pak RT…pak RT tolong pak “ katanya dengan suara yang terputus-putus.
Mendengar suara pak ferry, aku yang habis sholat isya langsung bergegas
kedepan, “ ada apa pak?” “bener pak RT, bener pak RT” katanya dengan
nafas memburu. Segera kubuka pintu dan meminta pak Ferry masuk. Setelah
meminum satu gelas aqua, pak ferry bisa bercerita dengan lebih runtut.
“kok pulang malam-malam dari mana sih pak?” kataku basa basi. “anu pak
RT, tadi mau beli bohlam, terus bannya bocor” ..”terus melawati rumah
kosong itu ?” kataku menggoda, “ya…mau lewat mana lagi pak RT, jalannya
kan cuma itu…ternyata betul lho pak RT, rumah itu berhantu” ‘ Masak pak
?!” “ saya sendiri juga heran kok pak RT, orang sudah meninggal kok bisa
hidup lagi…suaranya itu lho pak RT” katanya sambil geleng-geleng kepala
dan bergidik. Kami kemudian berdiam diri, setelah agak lama dan hatinya
mulai tertata baik, pak ferry lalu pamit.
Giliran aku yang
kemudian jadi pening, karena kalau hal ini berlarut-larut tentu akan
mengganggu ketenteraman warga komplek. Melihat diriku yang galau,
isteriku kemudian duduk dan memberikan saran, agar aku menemui pak Bono,
ustadz sekaligus ahli ruqyah siapa tahu bisa memberikan solusi yang
jitu. Paginya aku menemui pak Bono dan dari dirinya aku mendapat saran
dan juga metode untuk mengatasi persoalan rumah kosong itu. Karena
menurut ustadz Bono arwah yang sudah meninggal tidak mungkin bisa hidup
lagi, apalagi sampai mengganggu seperti itu. “pak…itu bukan arwah
gentayangan, tapi jin “ katanya pasti “dan jin yang berani masuk dalam
dimensi manusia sebetulnya pada posisinya yang lemah” .
Mendengar pesan-pesannya itu hatiku tambah mantap, maka setelah lepas
pukul 09.00, aku mengambil air wudlu dan mendirikan sholat hajat dua
rokaat. Tanpa batal wudlu, aku segera mendatangi rumah kosong itu. Lewat
jendela samping aku melihat lobang yang bisa aku gunakan untuk
mengintip, suara-suara braokan itu terdengar cukup kencang.
Astaghfirullah…dari lubang itu aku melihat dengan jelas yang sedang
pesta miras itu bersosok seperti anaknya kingkong, besar dan berbulu.
Hmmm ini yang bikin rusuh, ternyata mereka sebangsa genderuwo. Aku lalu
mengumandangkan adzan. Seketika terdengar jeritan kesakitan, dan sambat
tobat tidak kuat. Dengan berani kubuka paksa pintu butulan, mulutku tak
henti-hentinya mengucap ayat-ayat qursi dengan dengung rendah sehingga
hidungku bergetar, menurut ustadz bono dengan cara begitu doa-doa tadi
memiliki daya penghancur yang lebih kuat, karena mampu menembus
gelombang alpha dan tetha yang menjadi pintu masuk golongan jin dan
setan mengganggu manusia. Ternyata betul terdengar suara keras seperti
benda jatuh yang dibarengi dengan bau sangit, setelah itu…..cep. Sunyi.
Lampu senter enam baterei, kuyalakan sorotnya yang terang menembus
suasana kelam di rumah kosong itu. Bau anyir dan bau alcohol sisa
kejadian itu tercium sangat keras. Tiba-tiba terdengar suara gerengan
yang luar biasa keras, arahnya dari ruang dapur. Mulutku kembali
melantunkan ayat qursi yang kutambah dengan bacaan qulhu geni. Ternyata
betul, didapur itu terlihat sosok seperti kingkong yang duduk melipat
kaki, tubuhnya tinggi besar hampir menyentuh langit-langit, begitu
terkena cahaya lampu senter. Kepalanya terangkat…Masya Allah , matanya
merah menyala ukurannya sebesar piring makan, giginya meringis
mememamerkan taringnya yang sebesar clurit ukuran besar. “hahh.. siapa
kamu” mendengar bentakanku itu, kingkong itu berdiri tubuhnya jadi
kelihatan sangat tinggi menembus plafon. Aku mundur berapa langkah. “
Aku…yang tunggu rumah ini” suaranya besar, mirip suara truk diesel yang
sedang distater. “ini rumahnya manusia, kenapa kamu tempati “ “aku sudah
bertempat tinggal disini jauh sebelum rumah ini dibangun, aku dan
keluargaku tinggal di pohon randu alas, yang kemudian ditebang dan
dijadikan rumah ini” “…ohhh jadi kamu yang membuat penghuni rumah ini
gantung diri, dan anak-anak yang minum miras kemarin mati ?” “ iya…tak
akoni, karena ini rumahku, aku tidak rela rumahku dijadikan tempat yang
tidak baik” “terus, kena apa sampeyan berpura-pura menjadi anak-anak
malang yang kemarin meninggal karena pesta miras” kataku dengan keras. “
kasihan anak-anak itu, dikira jadi arwah yang penasaran” “…supaya omah
ini tetap kosong, dan tidak ada yang berani menempati” kemudian
dilanjutkan dengan sapuan keras tangannya yang sebesar tiang telpon itu
kearahku. Aku yang sudah waspada dari tadi, tangsung berkelit dengan
langkah segitiga yang kukuasahi dengan baik, serangan itu menimpa ruang
kosong. Genderuwo itu makin marah. “duuer…!!! Grobyakkkk…!!!!
Prakkkk!!!, begitulah suara-suara yang kami timbulkan berdua. Beberapa
kali sabetannya mengenai diriku, terasa berat dan bagai diguncang
puluhan pukulan Tyson rasanya. Karena merasa semakin tersudut, akhirnya
aku terpaksa mengeluarkan jurusan andalan, kakiku merendah, siku
lenganku hampir menyentuh lantai, dan hup dibarengi dengan seruan Allah
Akbar….!!! Kakiku lurus menghantam perutnya, kemudian dengan gerakan
menggunting tumitku menyetuh dengan keras dagunya. Genderuwo itu
terlempar “ammmmpunnnn panaaasssss, kapokkkkk…!!!! Genderuwo itu
sambat-sambat minta tolong. Aku langsung berdiri tegak dengan posisi
siaga “ kalau sudah kapok, malam ini juga aku minta kamu pergi dari
rumah ini, bawa anak isteri dan semua kerabatmu, bila tidak jadi kubikin
hancur lembur dengan ayat Kursi dan qulhu geni ini “ ancamku. “ingat,
manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna”…”hiya…hiya
aku mohon ampun, aku sudah kapok tidak akan mengganggu lagi” . Malam itu
juga dengan dibarengi suara seperti angin ribut genderuwo itu pergi
dari rumah itu. Diluar ternyata sudah penuh bapak-bapak yang bersiaga,
namun tidak ada yang berani mendekat. Menurutnya pertempuranku dengan
genderuwo penunggu rumah kosong itu berlangsung sangat seru, suaranya
kayak bumi yang diguncang gempa. Aku kemudian duduk terfukur, bersyukur
kehadirat Allah SWT di pojok rumah itu, mengatur nafas dengan irama
segitiga sambil mengusapi tanganku yang matang biru terbentur perabotan
tadi di dalam. Sementara banyak warga yang kemudian memberikan minum dan
juga memapahku pulang ke rumah.
Demikian ceritaku ketika
terpaksa harus megeluarkan ilmu pencak silat perisai diri warisan
leluhurku, untuk mengusir genderuwo liar yang mengganggu ketenangan
warga di kompleks perumahanku. Rumah itu sendiri sekarang sudah aku
beli, dan kupergunakan sebagai sanggar silat bagi adik-adik karang
taruna yang ingin mempelajari sebagai sarana untuk menyegarkan tubuh dan
juga sebagai alat bela diri.
Posting Komentar